Suatu perasaan pemisahan yang kadang-kadang disebut
juga sindrom depersonalisasi dapat didefinisikan gangguan afektif dimana
perasaan-perasaan tentang sesuatu yang tidak ada, dan tidak adanya keyakinan
tentang identitas dirinya sendiri dan perasaan identifikasi dengan tubuh
sendiri dan mengontrolnya.
Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau
pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah. Dalam episode depersonalisasi,
yang umumnya dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri
mereka. Gangguan depersonalisasi merupakan
salah satu klasifikasi dari gangguan disosiatif.
Orang
dengan gangguan depersonalisasi mengalami persepsi yang menyimpang pada identitas,
tubuh, dan hidup mereka yang membuat mereka tidak nyaman, gejala-gejala
kemungkinan sementara atau lama atau berulang untuk beberapa tahun. Gejala
umumnya antara lain : hidup di alam mimpi dan kadang merasa mimpi itu seperti
kenyataan. Gangguan depersonalisasi
(depersonalization disorder) terjadi ketika seseorang terus-menerus atau
berulang kali memiliki perasaan bahwa hal-hal di sekitarnya adalah tidak nyata.
Atau ketika memiliki perasaan bahwa dapat mengamati diri dari luar tubuh
sendiri. Perasaan depersonalisasi dapat sangat mengganggu dan mungkin merasa
seperti kehilangan pegangan pada realitas atau hidup dalam mimpi.
Para
penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya
ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka
terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh
mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa
seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.
1.2 Penyebab Gangguan Depersonalisasi
Perasaan depersonalisasi dapat terjadi:
1.
Dimulai dengan tidak ada pemicu yang jelas
2.
Dimulai setelah peristiwa hidup yang mengancam, seperti
kecelakaan atau penyerangan
3.
Dipicu oleh rasa takut memiliki suatu pengalaman depersonalisasi
4. Dengan gangguan
depersonalisasi, perasaan depersonalisasi tidak langsung disebabkan oleh
obat-obatan, alkohol, atau kondisi medis.
5. Namun, depersonalisasi mungkin
dipicu oleh stres atau trauma, dan hal tersebut sering terjadi bersama dengan
kondisi kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, atau skizofrenia. Dalam
beberapa kasus, hal tersebut dimulai tiba-tiba tanpa sebab yang jelas.
Sedangkan penyebab pasti gangguan depersonalisasi belum pasti. Namun, tampaknya
dapat dihubungkan dengan ketidakseimbangan pembawa pesan kimia otak tertentu
(neurotransmitter)
1.3 Gambaran klinis dan
Perkembangan Gangguan Depersonalisasi
Pasien menggambarkan perasaan yang nyata dan
persepsi baik. Mereka mengatakan bahwa emosi mereka tumpul. Beberapa pasien mengeluh mengalami distorsi sensori
yang mempengaruhi satu bagian tubuh.
Gangguan
di mana adanya perubahan dalam persepsi atau pengalaman individu mengenai
dirinya. Individu merasa “tidak riil” dan merasa asing terhadap diri dan
sekelilingnya, cukup mengganggu fungsi dirinya. Memori tidak berubah, tapi
individu kehilangan sense of self.
Gangguan
ini menyebabkan stress dan menimbulkan hambatan dalam berbagai fungsi
kehidupan. Biasanya terjadi setelah mengalami stress berat, seperti kecelakaan
atau situasi yang berbahaya.
Depersonalisasi dapat mengenai baik
laki-laki maupun perempuan. Onset sering pada masa remaja atau dewasa awal,
dengan kondisi awal sebelum usia 25 pada sekitar setengah kasus (Sierra, 2009).
Dan perjalanannya bersifat kronis (dalam waktu
yang lama). Gangguan depersonalisasi lebih umum pada orang yang pernah
mengalami pengalaman traumatis. Gejala biasanya dimulai secara tiba-tiba
sering ketika orang merasa terangsang.
Setelah ditegakkan diagnose, gejala akan sering berlangsung
selama bertahun-tahun, meskipun dengan periode remisi parsial atau lengkap. Gangguan depersonalisasi dapat parah dan mungkin
mengganggu hubungan dengan orang sekitar, pekerjaan, dan kegiatan sehari-hari
lainnya. Pengobatan untuk gangguan depersonalisasi termasuk obat-obatan dan
psikoterapi.
1.4 Gejala Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi ditandai
dengan perasaan terpisah yang lama atau berulang dari tubuh atau proses mental
seseorang dan oleh perasaan di luar kehidupan seseorang.
Gejala pada depersonalisasi adalah gejala ketiga
yang paling sering terjadi (setelah perasaan gelisah dan perasaan depresi) dan
seringkali terjadi setelah seseorang mengalami bahaya yang mengancam nyawa,
seperti kecelakaan, penyerangan, atau penyakit atau luka serius.
Gejala gangguan
depersonalisasi dapat meliputi, antara lain:
1.
Terus-menerus atau secara berulang memiliki perasaan bahwa pasien
menganggap dirinya adalah seorang pengamat luar dari pikirannya, tubuhnya, atau
bagian dari tubuh pasien sendiri.
2.
Mati rasa dari respon indera dalam menanggapi respon lingkungan
sekitar
3.
Merasa seperti robot atau perasaan seperti hidup dalam mimpi atau
dalam sebuah film
4.
Sensasi bahwa tidak dapat mengendalikan tindakan, termasuk
berbicara
5.
Kesadaran hanyalah perasaan, dan bukan realitas
6.
Pengalaman persisten atau
berulang
7.
Depersonalisasi penyebab
distress klinis signifikan atau gangguan di bidang sosial, bidang penting
kerja, atau fungsi.
1.5
Pengobatan
Karena
gangguan disosiatif tampaknya dipicu sebagai respon terhadap trauma atau pelecehan,
Pengobatan untuk individu dengan gangguan tersebut adalah psikoterapi stress,
meskipun kombinasi perawatan psychopharmacological dan psikososial sering
digunakan. Banyak gejala gangguan disosiatif terjadi dengan gangguan lain,
seperti kecemasan dan depresi, dan dapat dihilangkan dengan mengatasi penyebab
dari kecemasan dan depresi. Sedangkan obat yang sama digunakan untuk kecemasan
dan depresi (misalnya, anti ansietas obat atau antidepresan) sering diresepkan
untuk orang dalam pengobatan untuk gangguan disosiatif, gejala kecemasan dan
depresi juga bisa mendapatkan keuntungan dari psikoterapi.
Pengobatan gangguan depersonalisasi dapat meliputi, antara
lain:
1.
Konseling psikologis
Konseling psikologis akan
membantu pasien memahami mengapa terjadi depersonalisasi dan melatih pasien
untuk berhenti khawatir mengenai gejala yang terjadi. Gangguan depersonalisasi
juga dapat membaik ketika konseling membantu dengan kondisi psikologis lain,
seperti depresi.
2. Obat-obatan
Meskipun tidak ada obat khusus yang telah disetujui untuk mengobati gangguan depersonalisasi. Namun, sejumlah obat yang umumnya digunakan untuk mengobati depresi dan kecemasan juga dapat membantu kondisi gangguan depersonalisasi. Beberapa contoh yang telah ditunjukkan untuk meredakan gejala tersebut termasuk:
Meskipun tidak ada obat khusus yang telah disetujui untuk mengobati gangguan depersonalisasi. Namun, sejumlah obat yang umumnya digunakan untuk mengobati depresi dan kecemasan juga dapat membantu kondisi gangguan depersonalisasi. Beberapa contoh yang telah ditunjukkan untuk meredakan gejala tersebut termasuk:
a) Fluoxetine (Prozac) :
Fluoxetine adalah salah satu
obat diandalkan untuk pengobatan depresi. mekanisme aksi dari Fluoxetine adalah dengan meningkatkan
tingkat serotonin dalam otak. bahwa Pasien dengan Depresi memiliki tingkat
serotonin dalam otak mereka. Fluoxetine memudahkan gejala depresi dengan
memperlakukan ketidakseimbangan serotonin dalam otak.
b)
Clomipramine (Anafranil)
c) Clonazepam (Klonopin)
1.6
CGI (Clinical Global Impression) Scale
Skala Clinical Global Impression biasanya digunakan untuk mengukur keparahan
gejala, respon pengobatan dan kemanjuran pengobatan dalam studi pengobatan
pasien dengan gangguan mental (Guy, W., 1976).
CGI
dikembangkan untuk mendukung uji klinis NIMH dalam memberikan penilaian yang
digunakan sebelum dan setelah melakukan penelitian terhadap obat. Pengguaan CGI
diukur dengan meperhatikan informasi yang tersedia seperti riwayat pengetahuan
pasien, keadaan psikososial, gejala, perilaku, dan dampak dari gejala terhadap
kemampuan fungsi pasien. CGI terdiri dari dua kategri, kategori yang pertama
digunakan untuk mengevaluasi :
a)
keparahan dari
psikopatologi dengan poin 1-7
b)
perubahan dari
mulai dilakukan perawatan dengan poin 1-7.
Setelah dilakukan
evaluasi secara klinis, form CGI dapat diketahui dalam waktu kurang dari satu
menit oleh peneliti. CGI dengan 7 poin untuk menilai tingkat keparahan penyakit
pasien.
CGI dibagi menjadi 2 :
1. CGI-S
Penggunaanya dilihat
dari pengalaman klinis total, pasien dinilai pada tingkat keparahan penyakit
mental dengan tingkat :
1)
Normal, sama
sekali tidak sakit
2)
Pada perbatasan
antara sakit mental dan normal
3)
Mildly
4)
Moderately ill
5)
Markedly ill
6)
Severely ill
7)
Sangat sakit
diantara yang paling sakit
Tingkat skala
ini, berdasarkan pengamatan dan laporan gejala, perilaku dan fungsi pada
seminggu terakhir. Secara jelas, gejala dan perilaku meningkat dalam satu
minggu. Nilai tersebut mempengaruhi level keparahan dalam satu minggu.
2.
CGI-I
Berupa format
untuk menilai perbaikan.
1.
Sangat baik
sejak dilakukan perawatan
2.
Banyak
peningkatan
3.
Peningkatan yang
minimal
4.
Tidak ada
perubahan sejak dilakukan perawatan
5.
Memburuk minimal
6.
Jauh lebih buruk
7.
Sangat jauh
lebih buruk sejak dilakukan
2.1
Identitas Jurnal
Judul jurnal :
Fluoxetine Therapy in Depersonalisation Disorder : Randomised
Controlled Trial
Penulis : Daphne Simeon,
Orna Guralnik, James Schmeidler and Margaret
Knutelska
Penerbit : The British Journal of Psychiatry
2004
Sumber : Science Direct
Penelusuran : 20 Februari 2012, 14.00 WIB
2.2 Tujuan
Untuk
menyelidiki keefektifan fluoxetine sebagai pengobatan dari gangguan
depersonalisasi.
2.3 Metode
a.
Cara
pengambilan sampel
Peserta : Orang berusia 18
sampai 65 tahun yang memenuhi criteria DSM IV gangguan dipersonalisasi dengan
teknik wawancara klinis semi struktur dan struktur. Responden adalah orang-orang
yang membaca iklan di koran dan telah di skrining melalui telepon.
·
Kriteria
inklusi
-
Tidak menjalani pengobatan psychotropic
dalam 2 minggu
-
Menerima psikoterapi setidaknya 3 bulan
·
Kriteria
eklusi
-
Sebelumnya menjalani pengobatan
fluoxetine min 10 mg selama 4 minggu
-
Intoleransi atau hipersensitivitas
fluoxetine
-
Orang dengan diagnosa seumur hidup
skizofrenia, gangguan schizoaffective, gangguan bipolar atau gangguan mental
organic, gangguan zat atau gangguan makan
-
Baru memulai mendapatkan psychotherapy ,
CBT, hypnosis, mempunyai penyakit berat dan trauma kepala
Pada awalnya sampel berjumlah 54 orang tetapi pada
saat pelaksanaan, 4 orang diantaranya tidak diikutsertakan sehingga sampel
menjadi 50 orang. Kemudian dipilih secara acak 25 orang pada kelompok
fluoxetine dan 25 lainnya pada kelompok placebo. Dosis harian rata-rata yang
diberikan 46 mg untuk masing-masing kelompok. Tingkat penarikan sampel dalam
dua kelompok perawatan tidak berbeda secara signifikan. Saat penelitian, terdapat beberapa orang yang
mengundurkan diri dari penelitian, 9 orang dari kelompok fluoxetine dan
4 orang dari kelompok placebo karena berbagai alasan.
b. Cara
melakukan pengukuran dan apa yang diukur
·
Menggunakan metode double masked,
randomized parallel, membandingkan dosis yang fleksibel antara fluoxetine
dengan placebo
·
Setelah 2 minggu peserta penelitian
diacak untuk mendapatkan pengobatan fluoxetin atau placebo.
·
Dosis
fluoxetine 10 mg perhari pada minggu pertama dan meningkat secara fleksibel.
·
Kunjungan pengobatan dilakukan setiap 2
minggu untuk mengetahui ada tidaknya komplikasi atau efek yang berlawanan.
·
Pengukurannya
menggunakan :
Ø Clinical
Global Impression (CGI)
Terdapat 7 skala
pengukuran, untuk CGI-Severity dilakukan pada awal kunjungan sedangkan CGI-I
(skala perbaikan) pada setiap kunjungan berikutnya
Ø Dissociative
Experiences Scale
(DES)
Terdapat 28-item self-report kuesioner disosiatif
experiences, dimana pasien akan diminta untuk menilai pengalaman mereka dalam
seminggu
Ø Depersonalization
Severity Scale (DSS)
Terdapat 6 item, skala
clinician-administered dari pengalaman depersonalisation rated dinilai 0-3 pada
minggu terakhir , yang memperhatikan freknensi gejala baik dan kuat
Ø Secondary
outcome measures
w Depresi diukur menggunakan 17
item Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD; Hamilton, 1960)
w Kecemasan diukur dengan
standar Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRSA; Hamilton, 1959).
w Gejala fobia sosial
diukur dengan Liebowitz Sosial Anxiety Scale (LSAS; Heimberg et al, 1999),
skala 25-item yang mengukur kecemasan sosial dan penghindaran akibatnya.
w Gejala obsessive compulsive
sedang diukur dengan menggunakan Yale–Brown Obsessive Compulsive Severity scale
( goodman et al , 1989 ) , skala 10 item untuk mengukur obsessif dan
compulsive.
w Panic Attack Diary
adalah catatan mingguan yang dihasilkan dari keseluruhan jumlah serangan panic.
c.
Analisis statistik
w Analisis kovarian (ANCOVA) untuk mengontrol
dasar dan efek pengobatan dari depresi dan kecemasan
w Obsesif
kompulsif dan skor serangan gejala panik tidak dimasukkan dalam analisis
terakhir karena gejala-gejala tersebut minimal
w Untuk dua kelompok perawatan,
masing-masing terdiri dari 25 peserta, untuk mencapai kekuatan 0.80 dalam
mendeteksi perbedaan kelompok dengan dua-ekor tes di tingkat 0,5 yang
signifikan, ukuran efek (perbedaan antara cara pembagian dengan deviasi standar
umum) harus 0.81 (Cohen, 1988)
w Analisis
kategoris responder dan non-responden telah dilakukan dengan menggunakan tes X2,
didefinisikan sebagai CGI-I dengan nilai 2 atau 1, dikombinasikan dengan
penurunan setidaknya 30% dalam pengukuran dua tanda depersonalisasi. Chi-squared tes ini juga digunakan
untuk membandingkan demografis dan karakteristik klinis dari dua kelompok.
2.4 Hasil
a.
Hasil treatment
6 Analisis
ANCOVA dari tiga variabel utama mengungkapkan bahwa fluoxetine tidak lebih
unggul daripada plasebo dalam mengatasi depersonalisasi, dengan
pengecualian terdapat perbaikan signifikan secara statistik dalam skor CGI-I
ketika tidak covaried untuk depresi dan kecemasan (tabel 3). Perbaikan yang sama
dalam hal klinis, namun terdapat perbaikan yang berarti dalam hal statistic skor
CGI dengan fluoxetine daripada plasebo.
Perubahan Bi-weekly dalam pengukuran tiga outcome utama ditunjukkan pada
Fig 1. Akhirnya, analisis kategori dari status responden mengungkapkan tingkat
respon 24% di fluoxetine(n=6) dan 20 % tingkat
respon di placebo (n=5).
Skor dasar kecemasan dan depresi adalah sederhana (tabel 3), mewakili
dari perhitungan tidak terdapat perbedaan peningkatan pada gejala-gejala cemas
dan depresi selama pengobatan antara dua kelompok secara keseluruhan. Peserta
yang meminum fluoxetine secara konsisten cenderung memiliki respon yang lebih
baik daripada peserta dengan placebo, seperti yang didefinisikan oleh skor
CGI-I dari 2 atau 1 untuk gangguan tertentu:50% v. 0% untuk depresi, 75% v. 25%
untuk disritmia, 50% v. 40% untuk gangguan kecemasan umum, 100% v. 25% untuk gangguan
obsesif kompulsif, 50% v. 40% untuk gangguan panic dan 33% v. 13% untuk fobia
social.
Dalam penelitian ini, dilakukan penelitian tentang gangguan
depersonalisasi dengan menggunakan skor CGI-I yang kaitannya dengan komordibitas,
karena ini adalah variable outcome primer untuk menunjukkan perbaikan
diferensial pada fluoxetine, sebelum disertai kondisi kegelisahan dan depresi.
Untuk kelompok fluoxetine, end-point skor
CGI-I untuk gangguan
depersonalisasi tidak signifikan berbeda menurut ada atau tidak adanya
perbaikan klinis (CGI-I) dalam gangguan depresif comorbid. Namun, endpoint
CGI-I untuk gangguan depersonalisasi sedikit berbeda menurut ada atau tidak
adanya perbaikan klinis (CGI-I) dalam gangguan kecemasan comorbid.
Hasilnya, 9 orang dalam kelompok fluoxetine memiliki comorbid
gangguan kecemasan, 4 orang dengan gangguan kecemasan adalah semua responden
dengan gangguan depersonalisasi dengan CGI-I. 5 gangguan kecemasan yang tidak
menanggapi fluoxetine, satu-satunya adalah responden gangguan depersonalisasi.
Akhirnya, dalam kelompok fluoxetine, status depersonalisasi responden tidak
signifikan berbeda dalam ada atau tidaknya gangguan kepribadian.
b.
Efek
samping yang terjadi
Efek samping
yang terjadi pada frekuensi terendah
yaitu sebesar 10% yang juga merupakan efek terendah dari kedua studi
yang dilakukan. Efek samping tersebut adalah penurunan napsu makan (36%
fluoxetine, 4% placebo), kekakuan otot
atau cramping (16 % fluoxetine, 12 % placebo), tremor (16% fluoxetine, 0%
placebo), gelisah (28% fluoxetine, 40% placebo) , gerakan yang tidak terkendali
(8% fluoxetine, 12% placebo), kelelahan (48% fluoxetine, 16% placebo),
mengantuk (20% fluoxetine, 0% placebo), sakit kepala (28% both groups), diare
(16% both groups), mual (40% fluoxetine, 20% placebo), sakit perut (12% both
groups), frekuensi urinasi (20% fluoxetine, 8% placebo), jantung berdebar (4%
fluoxetine, 20% placebo), pusing (16% both groups), pandangan kabur (12% fluoxetine,
8% placebo), berkeringat (16% fluoxetine, 12% placebo), insomnia (48% fluoxetine,
24% placebo), penurunan libido (48% fluoxetine, 20% placebo) and penurunan
seksualitas (24% fluoxetine, 4% placebo). Hanya satu orang dari grup fluoxetine
dihentikan karena dari efek yang merugikan yaitu kecemasan. Oleh karena itu,
tingkat penarikan responden yang besar dari obat ini tidak disebabkan oleh
kejadian buruk yang terjadi.
2.5 Diskusi
a.
Kurangnya
efek keberhasilan dari fluoxetine untuk depersonalisasi primer
Keberhasilan serotonin untuk mengatasi depersonalisasi
primer masih rendah. Hal ini sesuai dengan laporan yang mengemukakan bahwa
perbaikan pada depersonalisasi berkaitan erat dengan penampilan dari gejala
yang muncul seperti panik dan serotonin serta review dari pengobatan yang dilakukan
yang melaporkan keberhasilan yang rendah dari terapi serotonin reuptake
inhibitor.
Pada kedua grup terdapat perbaikan yang rendah, akan
tetapi secara statistika perbaikan signifikan terdapat pada depersonalisasi
oleh CGI-I score pada kelompok fluoxetine, sebelum dilakukan pembenaran pada
efek depresi dan cemas namun secara klinis tidak signifikan,
Partisipan yang mengalami perbaikan oleh fluoxetine
mengungkapkan bahwa gejala yang dialami tidak sepenuhnya hilang akan tetapi dapat
mengurangi gangguan yang dialaminya. Hal ini sesuai dengan study ini yang
merupakan pengalaman subjektive dari partisipan pada fluoxetine yang menemukan
bahwa terdapat perbaikan yang sedikit pada CGI-I tanpa perbaikan yang
signifikan pada tingkat gejala depersonalisasi.
b.
Angka kesakitan (comorbid) dan hasil
treatment
Ada kemungkinan bahwa beberapa angka kesakitan dari kecemasan dan
depresi secara keseluruhan memberikan
kontribusi
ke keadaan
afektif yang lebih
ditoleransi,
yang mana keadaan tersebut membuat peserta merasa kondisi dipersonalisasi tersebut tidak terlalu mengganggu meskipun gangguan depersonalisasi dasarnya tidak
berubah. Memang, efek mediasi komorbiditas dari kecemasan dan
depresi
dapat terlihat dari angka yang signifikan dari peningkatan
CGI-I, ketika covaried untuk dasar dan perubahan
dalam kecemasan
dan depresi, serta dengan semakin besar perbaikan dalam gangguan kecemasan pada orang dengan gangguan depersonalisasi yang menanggapi fluoxetine, dibandingkan dengan non-responden.
Hubungan depersonalisasi dari kecemasan dan depresi masih menjadi kontroversial. Terdahulu peneliti handal menggambarkan hubungan depersonalisasi untuk fobia kecemasan (Roth, 1959), depresi (Sedman, 1972) dan obsesi (Obor, 1978). Dan baru-baru ini, David dkk memiliki pandangan bahwa gangguan depersonalisasi harus ditempatkan dengan mood dan gangguan kecemasan (Baker et al, 2003).
dan depresi, serta dengan semakin besar perbaikan dalam gangguan kecemasan pada orang dengan gangguan depersonalisasi yang menanggapi fluoxetine, dibandingkan dengan non-responden.
Hubungan depersonalisasi dari kecemasan dan depresi masih menjadi kontroversial. Terdahulu peneliti handal menggambarkan hubungan depersonalisasi untuk fobia kecemasan (Roth, 1959), depresi (Sedman, 1972) dan obsesi (Obor, 1978). Dan baru-baru ini, David dkk memiliki pandangan bahwa gangguan depersonalisasi harus ditempatkan dengan mood dan gangguan kecemasan (Baker et al, 2003).
Pandangan alternatif adalah bahwa kondisi emosional yang ekstrim seperti depresi berat atau kecemasan
adalah salah satu jenis 'stres
traumatik ', banyak
di antaranya, yang
mungkin
memicu terjadinya gangguan depersonalisasi
pada individu
dengan kondisi kerentanan yang
mendasarinya, dalam beberapa kasus, gangguan
depersonalisasi
dapat menjadi
kronis dan otonom dari
pencetus
stressor
(Simeon dkk, 2003). Gangguan
depersonalisasi
yang kurang responsive terhadap fluoxetine
mendukung konsep yang terakhir, bahwa gangguan depersonalisasi adalah gangguan disosiatif yang berbeda.
Memang, beberapa tahun lalu sekitar tahun 1930, Mayer-Gross
(1935) mengkonseptualisasikan bahwa gangguan depersonalisasi
adalah jenis awal yang universal gangguan respon fungsional otak menuju keadaan stres yang ekstrim.
c.
Kelebihan dan kekurangan penelitian
w
Kelebihan dari penelitian
Dosis fluoxetine dan durasi percobaan, menggunaan pengukuran
disosiasi well-validated, both clinical-rated dan dilaporkan sendiri
menggunakan diary. Penggunaan penilai independen untuk peristiwa-peristiwa
buruk dan obat penyesuaian untuk melakukan penilaian klinis; dan kriteria
seleksi yang ketat untuk peserta dengan primary DSM IV gangguan depersonalisation.
w
Keterbatasan terdapat pada penarikan responden yang lebih
tinggi di kelompok fluoxetine dan ukuran medium sampel.
d.
Implikasi untuk pengobatan
Penelitian ini menunjukkan bahwa
penggunaan inhibitor reuptake serotonin pada lini pertama untuk pengobatan
gangguan depersonalisatsi tidak
dianjurkan, kecuali untuk individu yang
mengalami beberapa gangguan kecemasan
atau depresi, pada individu seperti peningkatan tingkat afektif mungkin menghasilkan
toleransi yang lebih baik untuk gejala disosiatif.
Meskipun negatif, temuan-temuan dari studi ini penting dalam
menerangkan tentang tidak adanya farmakoterapi yang manjur untuk
depersonalisasi dan praktik klinis yang umum pada dekade terakhir yang
menggunakan penghambat serotonin reuptake berdasarkan pada cerita yang
dilaporkan pada perjanjian awal dan sering adanya comorbid kecemasan dan
depresi. Kedepannya diharapkan peneliti lain menyelidiki pengobatan yang
mungkin mempunyai efek anti
depersonalisasi yang terbukti bermanfaat
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
1. Gangguan depersonalisasi (depersonalization disorder)
adalah gangguan afektif yang terjadi pada seseorang bahwa hal-hal di sekitarnya
adalah tidak nyata terus-menerus atau berulang kali. Atau ketika memiliki
perasaan bahwa dapat mengamati diri dari luar tubuh sendiri.. Gangguan
depersonalisasi lebih umum pada orang yang pernah mengalami pengalaman
traumatis.
2. Pada jurnal ini
membandingkan antara kelompok yang diberikan fluoxetine dan placebo (masing –
masing 46 mg), dari perbandingan tersebut keberhasilan serotonin untuk
mengatasi depersonalisasi primer masih rendah. Akan tetapi fluoxetine memberikan efek perbaikan untuk penurunan
depresi dan kecemasan pada gangguan depersonalisasi yang disertai kondisi
tersebut dibandingkan dengan kelompok placebo.
3.2 Saran
·
Kedepannya diharapkan peneliti
lain dapat menyelidiki pengobatan yang mungkin mempunyai efek anti depersonalisasi yang terbukti
bermanfaat.
·
Penarikan
sampel antar dua kelompok yang dibandingkan diharapkan seimbang.
3.3 Implikasi Keperawatan
· Perawat dapat melakukan penelitian lebih
lanjut mengenai intervensi non farmakologi yang dapat digunakan untuk menangani
kasus gangguan depersonalisasi untuk menghindari memburuknya penyakit dan
komplikasi akibat depersonalisasi.
· Perawat sebagai peneliti diharapkan
mampu berkolaborasi dengan tenaga medis lain untuk meneliti efektifitas
penanganan gangguan depersonalisasi baik secara farmakologi dan non
farmakologi.
Sumer :
http://www.psychologymania.com/2011/09/gangguan-disosiatif-dissociative.html
http://medicastore.com/penyakit/3243/Gangguan_Depersonalisasi.html
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
Sumer :
http://www.psychologymania.com/2011/09/gangguan-disosiatif-dissociative.html
http://medicastore.com/penyakit/3243/Gangguan_Depersonalisasi.html
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
Davidson, Gerald, dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Press