A little knowledge that acts is worth infinitely more than much knowledge that is idle.

Contact Me

Fb : Nurani ada disini e-mail : eka.nurani@gmail.com

gangguan depersonalisasi

Kamis, 01 Maret 2012 | 1 komentar



Gangguan Depersonalisasi
Suatu perasaan pemisahan yang kadang-kadang disebut juga sindrom depersonalisasi dapat didefinisikan gangguan afektif dimana perasaan-perasaan tentang sesuatu yang tidak ada, dan tidak adanya keyakinan tentang identitas dirinya sendiri dan perasaan identifikasi dengan tubuh sendiri dan mengontrolnya.
Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah. Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Gangguan depersonalisasi merupakan salah satu klasifikasi dari gangguan disosiatif.
Orang dengan gangguan depersonalisasi mengalami persepsi yang menyimpang pada identitas, tubuh, dan hidup mereka yang membuat mereka tidak nyaman, gejala-gejala kemungkinan sementara atau lama atau berulang untuk beberapa tahun. Gejala umumnya antara lain : hidup di alam mimpi dan kadang merasa mimpi itu seperti kenyataan. Gangguan depersonalisasi (depersonalization disorder) terjadi ketika seseorang terus-menerus atau berulang kali memiliki perasaan bahwa hal-hal di sekitarnya adalah tidak nyata. Atau ketika memiliki perasaan bahwa dapat mengamati diri dari luar tubuh sendiri. Perasaan depersonalisasi dapat sangat mengganggu dan mungkin merasa seperti kehilangan pegangan pada realitas atau hidup dalam mimpi.
Para penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.
1.2 Penyebab Gangguan Depersonalisasi
Perasaan depersonalisasi dapat terjadi:
1.      Dimulai dengan tidak ada pemicu yang jelas
2.      Dimulai setelah peristiwa hidup yang mengancam, seperti kecelakaan atau penyerangan
3.      Dipicu oleh rasa takut memiliki suatu pengalaman depersonalisasi
4.      Dengan gangguan depersonalisasi, perasaan depersonalisasi tidak langsung disebabkan oleh obat-obatan, alkohol, atau kondisi medis.
5.      Namun, depersonalisasi mungkin dipicu oleh stres atau trauma, dan hal tersebut sering terjadi bersama dengan kondisi kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, atau skizofrenia. Dalam beberapa kasus, hal tersebut dimulai tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Sedangkan penyebab pasti gangguan depersonalisasi belum pasti. Namun, tampaknya dapat dihubungkan dengan ketidakseimbangan pembawa pesan kimia otak tertentu (neurotransmitter)
1.3  Gambaran klinis dan Perkembangan Gangguan Depersonalisasi
Pasien menggambarkan perasaan yang nyata dan persepsi baik. Mereka mengatakan bahwa emosi mereka tumpul. Beberapa pasien mengeluh mengalami distorsi sensori yang mempengaruhi satu bagian tubuh.
Gangguan di mana adanya perubahan dalam persepsi atau pengalaman individu mengenai dirinya. Individu merasa “tidak riil” dan merasa asing terhadap diri dan sekelilingnya, cukup mengganggu fungsi dirinya. Memori tidak berubah, tapi individu kehilangan sense of self.
Gangguan ini menyebabkan stress dan menimbulkan hambatan dalam berbagai fungsi kehidupan. Biasanya terjadi setelah mengalami stress berat, seperti kecelakaan atau situasi yang berbahaya.
Depersonalisasi dapat mengenai baik laki-laki maupun perempuan. Onset sering pada masa remaja atau dewasa awal, dengan kondisi awal sebelum usia 25 pada sekitar setengah kasus (Sierra, 2009). Dan perjalanannya bersifat kronis (dalam waktu yang lama). Gangguan depersonalisasi lebih umum pada orang yang pernah mengalami pengalaman traumatis. Gejala biasanya dimulai secara tiba-tiba sering ketika orang merasa terangsang.
Setelah ditegakkan diagnose, gejala akan sering berlangsung selama bertahun-tahun, meskipun dengan periode remisi parsial atau lengkap. Gangguan depersonalisasi dapat parah dan mungkin mengganggu hubungan dengan orang sekitar, pekerjaan, dan kegiatan sehari-hari lainnya. Pengobatan untuk gangguan depersonalisasi termasuk obat-obatan dan psikoterapi.
1.4  Gejala Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi ditandai dengan perasaan terpisah yang lama atau berulang dari tubuh atau proses mental seseorang dan oleh perasaan di luar kehidupan seseorang.
Gejala pada depersonalisasi adalah gejala ketiga yang paling sering terjadi (setelah perasaan gelisah dan perasaan depresi) dan seringkali terjadi setelah seseorang mengalami bahaya yang mengancam nyawa, seperti kecelakaan, penyerangan, atau penyakit atau luka serius.
Gejala gangguan depersonalisasi dapat meliputi, antara lain:
1.      Terus-menerus atau secara berulang memiliki perasaan bahwa pasien menganggap dirinya adalah seorang pengamat luar dari pikirannya, tubuhnya, atau bagian dari tubuh pasien sendiri.
2.      Mati rasa dari respon indera dalam menanggapi respon lingkungan sekitar
3.      Merasa seperti robot atau perasaan seperti hidup dalam mimpi atau dalam sebuah film
4.      Sensasi bahwa tidak dapat mengendalikan tindakan, termasuk berbicara
5.      Kesadaran hanyalah perasaan, dan bukan realitas
6.      Pengalaman persisten atau berulang
7.      Depersonalisasi penyebab distress klinis signifikan atau gangguan di bidang sosial, bidang penting kerja, atau fungsi.
1.5  Pengobatan
Karena gangguan disosiatif tampaknya dipicu sebagai respon terhadap trauma atau pelecehan, Pengobatan untuk individu dengan gangguan tersebut adalah psikoterapi stress, meskipun kombinasi perawatan psychopharmacological dan psikososial sering digunakan. Banyak gejala gangguan disosiatif terjadi dengan gangguan lain, seperti kecemasan dan depresi, dan dapat dihilangkan dengan mengatasi penyebab dari kecemasan dan depresi. Sedangkan obat yang sama digunakan untuk kecemasan dan depresi (misalnya, anti ansietas obat atau antidepresan) sering diresepkan untuk orang dalam pengobatan untuk gangguan disosiatif, gejala kecemasan dan depresi juga bisa mendapatkan keuntungan dari psikoterapi.
Pengobatan gangguan depersonalisasi dapat meliputi, antara lain:
1.      Konseling psikologis
Konseling psikologis akan membantu pasien memahami mengapa terjadi depersonalisasi dan melatih pasien untuk berhenti khawatir mengenai gejala yang terjadi. Gangguan depersonalisasi juga dapat membaik ketika konseling membantu dengan kondisi psikologis lain, seperti depresi.
2.      Obat-obatan
Meskipun tidak ada obat khusus yang telah disetujui untuk mengobati gangguan depersonalisasi. Namun, sejumlah obat yang umumnya digunakan untuk mengobati depresi dan kecemasan juga dapat membantu kondisi gangguan depersonalisasi. Beberapa contoh yang telah ditunjukkan untuk meredakan gejala tersebut termasuk:
a)      Fluoxetine (Prozac) : 
Fluoxetine adalah salah satu obat diandalkan untuk pengobatan depresi. mekanisme aksi dari Fluoxetine adalah dengan meningkatkan tingkat serotonin dalam otak. bahwa Pasien dengan Depresi memiliki tingkat serotonin dalam otak mereka. Fluoxetine memudahkan gejala depresi dengan memperlakukan ketidakseimbangan serotonin dalam otak.
b)      Clomipramine (Anafranil)
c)      Clonazepam (Klonopin)

1.6 CGI (Clinical Global Impression) Scale
Skala Clinical Global Impression  biasanya digunakan untuk mengukur keparahan gejala, respon pengobatan dan kemanjuran pengobatan dalam studi pengobatan pasien dengan gangguan mental (Guy, W., 1976).
CGI dikembangkan untuk mendukung uji klinis NIMH dalam memberikan penilaian yang digunakan sebelum dan setelah melakukan penelitian terhadap obat. Pengguaan CGI diukur dengan meperhatikan informasi yang tersedia seperti riwayat pengetahuan pasien, keadaan psikososial, gejala, perilaku, dan dampak dari gejala terhadap kemampuan fungsi pasien. CGI terdiri dari dua kategri, kategori yang pertama digunakan untuk mengevaluasi :
a)      keparahan dari psikopatologi dengan poin 1-7
b)      perubahan dari mulai dilakukan perawatan dengan poin 1-7.
Setelah dilakukan evaluasi secara klinis, form CGI dapat diketahui dalam waktu kurang dari satu menit oleh peneliti. CGI dengan 7 poin untuk menilai tingkat keparahan penyakit pasien.
CGI dibagi menjadi 2 :
1.   CGI-S
Penggunaanya dilihat dari pengalaman klinis total, pasien dinilai pada tingkat keparahan penyakit mental dengan tingkat :
1)      Normal, sama sekali tidak sakit
2)      Pada perbatasan antara sakit mental dan normal
3)      Mildly
4)      Moderately ill
5)      Markedly ill
6)      Severely ill
7)      Sangat sakit diantara yang paling sakit
Tingkat skala ini, berdasarkan pengamatan dan laporan gejala, perilaku dan fungsi pada seminggu terakhir. Secara jelas, gejala dan perilaku meningkat dalam satu minggu. Nilai tersebut mempengaruhi level keparahan dalam satu minggu.
2.      CGI-I
Berupa format untuk menilai perbaikan.
1.      Sangat baik sejak dilakukan perawatan
2.      Banyak peningkatan
3.      Peningkatan yang minimal
4.      Tidak ada perubahan sejak dilakukan perawatan
5.      Memburuk minimal
6.      Jauh lebih buruk
7.      Sangat jauh lebih buruk sejak dilakukan

Ganggua Depersonalisasi dihubungkan dengan jurnal.
2.1 Identitas Jurnal
Judul jurnal                 : Fluoxetine Therapy in Depersonalisation Disorder : Randomised
  Controlled Trial
Penulis                         : Daphne Simeon, Orna Guralnik, James Schmeidler  and  Margaret Knutelska
Penerbit                       : The British Journal of Psychiatry 2004
Sumber                        : Science Direct
Penelusuran                 : 20 Februari 2012, 14.00 WIB
2.2  Tujuan
Untuk menyelidiki keefektifan fluoxetine sebagai pengobatan dari gangguan depersonalisasi.
2.3  Metode
a.       Cara pengambilan sampel
Peserta : Orang berusia 18 sampai 65 tahun yang memenuhi criteria DSM IV gangguan dipersonalisasi dengan teknik wawancara klinis semi struktur dan struktur. Responden adalah orang-orang yang membaca iklan di koran dan telah di skrining melalui telepon.
·         Kriteria inklusi
-          Tidak menjalani pengobatan psychotropic dalam 2 minggu
-          Menerima psikoterapi setidaknya 3 bulan
·         Kriteria eklusi
-          Sebelumnya menjalani pengobatan fluoxetine min 10 mg selama 4 minggu
-          Intoleransi atau hipersensitivitas fluoxetine
-          Orang dengan diagnosa seumur hidup skizofrenia, gangguan schizoaffective, gangguan bipolar atau gangguan mental organic, gangguan zat atau gangguan makan
-          Baru memulai mendapatkan psychotherapy , CBT, hypnosis, mempunyai penyakit berat dan trauma kepala
Pada awalnya sampel berjumlah 54 orang tetapi pada saat pelaksanaan, 4 orang diantaranya tidak diikutsertakan sehingga sampel menjadi 50 orang. Kemudian dipilih secara acak 25 orang pada kelompok fluoxetine dan 25 lainnya pada kelompok placebo. Dosis harian rata-rata yang diberikan 46 mg untuk masing-masing kelompok. Tingkat penarikan sampel dalam dua kelompok perawatan tidak berbeda secara signifikan. Saat penelitian, terdapat beberapa orang yang mengundurkan diri dari penelitian, 9 orang dari kelompok fluoxetine dan 4 orang dari kelompok placebo karena berbagai alasan.
b.      Cara melakukan pengukuran dan apa yang diukur
·         Menggunakan metode double masked, randomized parallel, membandingkan dosis yang fleksibel antara fluoxetine dengan placebo
·         Setelah 2 minggu peserta penelitian diacak untuk mendapatkan pengobatan fluoxetin atau placebo.
·         Dosis fluoxetine 10 mg perhari pada minggu pertama dan meningkat secara fleksibel.
·         Kunjungan pengobatan dilakukan setiap 2 minggu untuk mengetahui ada tidaknya komplikasi atau efek yang berlawanan.
·         Pengukurannya menggunakan :
Ø  Clinical Global Impression (CGI)
Terdapat 7 skala pengukuran, untuk CGI-Severity dilakukan pada awal kunjungan sedangkan CGI-I (skala perbaikan) pada setiap kunjungan berikutnya
Ø  Dissociative Experiences Scale (DES)
Terdapat  28-item self-report kuesioner disosiatif experiences, dimana pasien akan diminta untuk menilai pengalaman mereka dalam seminggu
Ø  Depersonalization Severity Scale (DSS)
Terdapat 6 item, skala clinician-administered dari pengalaman depersonalisation rated dinilai 0-3 pada minggu terakhir , yang memperhatikan freknensi gejala baik dan kuat
Ø  Secondary outcome measures
w  Depresi diukur menggunakan 17 item Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD; Hamilton, 1960)
w  Kecemasan diukur dengan standar Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRSA; Hamilton, 1959).
w  Gejala fobia sosial diukur dengan Liebowitz Sosial Anxiety Scale (LSAS; Heimberg et al, 1999), skala 25-item yang mengukur kecemasan sosial dan penghindaran akibatnya.
w  Gejala obsessive compulsive sedang diukur dengan menggunakan Yale–Brown Obsessive Compulsive Severity scale ( goodman et al , 1989 ) , skala 10 item untuk mengukur obsessif dan compulsive.
w  Panic Attack Diary adalah catatan mingguan yang dihasilkan dari keseluruhan jumlah serangan panic.

c.       Analisis statistik
w  Analisis kovarian (ANCOVA) untuk mengontrol dasar dan efek pengobatan dari depresi dan kecemasan
w  Obsesif kompulsif dan skor serangan gejala panik tidak dimasukkan dalam analisis terakhir karena gejala-gejala tersebut minimal
w  Untuk dua kelompok perawatan, masing-masing terdiri dari 25 peserta, untuk mencapai kekuatan 0.80 dalam mendeteksi perbedaan kelompok dengan dua-ekor tes di tingkat 0,5 yang signifikan, ukuran efek (perbedaan antara cara pembagian dengan deviasi standar umum) harus 0.81 (Cohen, 1988)
w  Analisis kategoris responder dan non-responden telah dilakukan dengan menggunakan tes X2, didefinisikan sebagai CGI-I dengan nilai 2 atau 1, dikombinasikan dengan penurunan setidaknya 30% dalam pengukuran dua tanda depersonalisasi. Chi-squared tes ini juga digunakan untuk membandingkan demografis dan karakteristik klinis dari dua kelompok.

2.4  Hasil
a.      Hasil treatment
6 Analisis ANCOVA dari tiga variabel utama mengungkapkan bahwa fluoxetine tidak lebih unggul daripada plasebo dalam mengatasi depersonalisasi, dengan pengecualian terdapat perbaikan signifikan secara statistik dalam skor CGI-I ketika tidak covaried untuk depresi dan kecemasan (tabel 3). Perbaikan yang sama dalam hal klinis, namun terdapat perbaikan yang berarti dalam hal statistic skor CGI dengan fluoxetine daripada plasebo.  Perubahan Bi-weekly dalam pengukuran tiga outcome utama ditunjukkan pada Fig 1. Akhirnya, analisis kategori dari status responden mengungkapkan tingkat respon  24% di fluoxetine(n=6) dan 20 % tingkat respon di placebo (n=5).
Skor dasar kecemasan dan depresi adalah sederhana (tabel 3), mewakili dari perhitungan tidak terdapat perbedaan peningkatan pada gejala-gejala cemas dan depresi selama pengobatan antara dua kelompok secara keseluruhan. Peserta yang meminum fluoxetine secara konsisten cenderung memiliki respon yang lebih baik daripada peserta dengan placebo, seperti yang didefinisikan oleh skor CGI-I dari 2 atau 1 untuk gangguan tertentu:50% v. 0% untuk depresi, 75% v. 25% untuk disritmia, 50% v. 40% untuk gangguan kecemasan umum, 100% v. 25% untuk gangguan obsesif kompulsif, 50% v. 40% untuk gangguan panic dan 33% v. 13% untuk fobia social.
Dalam penelitian ini, dilakukan penelitian tentang gangguan depersonalisasi dengan menggunakan skor CGI-I yang kaitannya dengan komordibitas, karena ini adalah variable outcome primer untuk menunjukkan perbaikan diferensial pada fluoxetine, sebelum disertai kondisi kegelisahan dan depresi. Untuk kelompok fluoxetine, end-point skor  CGI-I untuk gangguan  depersonalisasi tidak signifikan berbeda menurut ada atau tidak adanya perbaikan klinis (CGI-I) dalam gangguan depresif comorbid. Namun, endpoint CGI-I untuk gangguan depersonalisasi sedikit berbeda menurut ada atau tidak adanya perbaikan klinis (CGI-I) dalam gangguan kecemasan comorbid.
Hasilnya, 9 orang dalam kelompok fluoxetine memiliki comorbid gangguan kecemasan, 4 orang dengan gangguan kecemasan adalah semua responden dengan gangguan depersonalisasi dengan CGI-I. 5 gangguan kecemasan yang tidak menanggapi fluoxetine, satu-satunya adalah responden gangguan depersonalisasi. Akhirnya, dalam kelompok fluoxetine, status depersonalisasi responden tidak signifikan berbeda dalam ada atau tidaknya gangguan kepribadian.
b.      Efek samping yang terjadi
Efek samping yang terjadi pada frekuensi terendah  yaitu sebesar 10% yang juga merupakan efek terendah dari kedua studi yang dilakukan. Efek samping tersebut adalah penurunan napsu makan (36% fluoxetine,  4% placebo), kekakuan otot atau cramping (16 % fluoxetine, 12 % placebo), tremor (16% fluoxetine, 0% placebo), gelisah (28% fluoxetine, 40% placebo) , gerakan yang tidak terkendali (8% fluoxetine, 12% placebo), kelelahan (48% fluoxetine, 16% placebo), mengantuk (20% fluoxetine, 0% placebo), sakit kepala (28% both groups), diare (16% both groups), mual (40% fluoxetine, 20% placebo), sakit perut (12% both groups), frekuensi urinasi (20% fluoxetine, 8% placebo), jantung berdebar (4% fluoxetine, 20% placebo), pusing (16% both groups), pandangan kabur (12% fluoxetine, 8% placebo), berkeringat (16% fluoxetine, 12% placebo), insomnia (48% fluoxetine, 24% placebo), penurunan libido (48% fluoxetine, 20% placebo) and penurunan seksualitas (24% fluoxetine, 4% placebo). Hanya satu orang dari grup fluoxetine dihentikan karena dari efek yang merugikan yaitu kecemasan. Oleh karena itu, tingkat penarikan responden yang besar dari obat ini tidak disebabkan oleh kejadian buruk yang terjadi.

2.5  Diskusi
a.      Kurangnya efek keberhasilan dari fluoxetine untuk depersonalisasi primer
Keberhasilan serotonin untuk mengatasi depersonalisasi primer masih rendah. Hal ini sesuai dengan laporan yang mengemukakan bahwa perbaikan pada depersonalisasi berkaitan erat dengan penampilan dari gejala yang muncul seperti panik dan serotonin serta review dari pengobatan yang dilakukan yang melaporkan keberhasilan yang rendah dari terapi serotonin reuptake inhibitor.
Pada kedua grup terdapat perbaikan yang rendah, akan tetapi secara statistika perbaikan signifikan terdapat pada depersonalisasi oleh CGI-I score pada kelompok fluoxetine, sebelum dilakukan pembenaran pada efek depresi dan cemas namun secara klinis tidak signifikan,
Partisipan yang mengalami perbaikan oleh fluoxetine mengungkapkan bahwa gejala yang dialami tidak sepenuhnya hilang akan tetapi dapat mengurangi gangguan yang dialaminya. Hal ini sesuai dengan study ini yang merupakan pengalaman subjektive dari partisipan pada fluoxetine yang menemukan bahwa terdapat perbaikan yang sedikit pada CGI-I tanpa perbaikan yang signifikan pada tingkat gejala depersonalisasi.
b.      Angka kesakitan (comorbid) dan hasil treatment
Ada kemungkinan bahwa beberapa angka kesakitan dari kecemasan dan depresi secara keseluruhan memberikan kontribusi ke keadaan afektif yang lebih ditoleransi, yang mana keadaan tersebut membuat peserta merasa kondisi dipersonalisasi tersebut tidak terlalu mengganggu meskipun gangguan depersonalisasi dasarnya tidak berubah. Memang, efek mediasi komorbiditas  dari kecemasan dan depresi dapat terlihat dari angka yang signifikan dari peningkatan CGI-I, ketika covaried untuk dasar dan perubahan dalam kecemasan
dan depresi,
serta dengan semakin besar perbaikan dalam gangguan kecemasan pada orang dengan gangguan depersonalisasi yang menanggapi fluoxetine, dibandingkan dengan non-responden.
            Hubungan depersonalisasi dari kecemasan dan depresi masih menjadi kontroversial. Terdahulu peneliti handal menggambarkan hubungan depersonalisasi untuk fobia kecemasan (Roth, 1959), depresi (Sedman, 1972) dan obsesi (Obor, 1978). Dan baru-baru ini, David dkk memiliki pandangan bahwa gangguan depersonalisasi harus ditempatkan dengan mood dan gangguan kecemasan (Baker et al, 2003).
Pandangan alternatif adalah bahwa kondisi emosional yang ekstrim seperti depresi berat atau kecemasan adalah salah satu jenis 'stres traumatik ', banyak di antaranya, yang mungkin memicu terjadinya gangguan depersonalisasi pada individu dengan kondisi kerentanan yang mendasarinya, dalam beberapa kasus, gangguan depersonalisasi dapat menjadi kronis dan otonom dari pencetus stressor (Simeon dkk, 2003). Gangguan depersonalisasi yang kurang responsive terhadap fluoxetine mendukung konsep yang terakhir, bahwa gangguan depersonalisasi adalah gangguan disosiatif yang berbeda. Memang, beberapa tahun lalu sekitar tahun 1930, Mayer-Gross (1935) mengkonseptualisasikan bahwa gangguan depersonalisasi adalah jenis awal yang universal gangguan respon fungsional otak menuju keadaan stres yang ekstrim.
c.       Kelebihan dan kekurangan penelitian
w  Kelebihan dari penelitian
Dosis fluoxetine dan durasi percobaan, menggunaan pengukuran disosiasi well-validated, both clinical-rated dan dilaporkan sendiri menggunakan diary. Penggunaan penilai independen untuk peristiwa-peristiwa buruk dan obat penyesuaian untuk melakukan penilaian klinis; dan kriteria seleksi yang ketat untuk peserta dengan primary DSM  IV gangguan depersonalisation.
w  Keterbatasan terdapat pada penarikan responden yang lebih tinggi di kelompok fluoxetine dan ukuran medium sampel.
d.      Implikasi untuk pengobatan
Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan inhibitor reuptake serotonin pada lini pertama untuk pengobatan gangguan depersonalisatsi  tidak dianjurkan,  kecuali untuk individu yang mengalami beberapa  gangguan kecemasan atau depresi, pada individu seperti peningkatan tingkat afektif mungkin menghasilkan toleransi yang lebih baik untuk gejala disosiatif.
Meskipun negatif, temuan-temuan dari studi ini penting dalam menerangkan tentang tidak adanya farmakoterapi yang manjur untuk depersonalisasi dan praktik klinis yang umum pada dekade terakhir yang menggunakan penghambat serotonin reuptake berdasarkan pada cerita yang dilaporkan pada perjanjian awal dan sering adanya comorbid kecemasan dan depresi. Kedepannya diharapkan peneliti lain menyelidiki pengobatan yang mungkin mempunyai efek  anti depersonalisasi yang terbukti bermanfaat 

Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
1.     Gangguan depersonalisasi (depersonalization disorder) adalah gangguan afektif yang terjadi pada seseorang bahwa hal-hal di sekitarnya adalah tidak nyata terus-menerus atau berulang kali. Atau ketika memiliki perasaan bahwa dapat mengamati diri dari luar tubuh sendiri.. Gangguan depersonalisasi lebih umum pada orang yang pernah mengalami pengalaman traumatis.
2.  Pada jurnal ini membandingkan antara kelompok yang diberikan fluoxetine dan placebo (masing – masing 46 mg), dari perbandingan tersebut keberhasilan serotonin untuk mengatasi depersonalisasi primer masih rendah. Akan tetapi fluoxetine memberikan efek perbaikan untuk penurunan depresi dan kecemasan pada gangguan depersonalisasi yang disertai kondisi tersebut dibandingkan dengan kelompok placebo.

3.2 Saran
·         Kedepannya diharapkan peneliti lain dapat menyelidiki pengobatan yang mungkin mempunyai efek  anti depersonalisasi yang terbukti bermanfaat.
·         Penarikan sampel antar dua kelompok yang dibandingkan diharapkan seimbang.

3.3  Implikasi Keperawatan
·    Perawat dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai intervensi non farmakologi yang dapat digunakan untuk menangani kasus gangguan depersonalisasi untuk menghindari memburuknya   penyakit dan komplikasi akibat depersonalisasi.
·     Perawat sebagai peneliti diharapkan mampu berkolaborasi dengan tenaga medis lain untuk meneliti efektifitas penanganan gangguan depersonalisasi baik secara farmakologi dan non farmakologi.

      Sumer : 
      http://www.psychologymania.com/2011/09/gangguan-disosiatif-dissociative.html
      http://medicastore.com/penyakit/3243/Gangguan_Depersonalisasi.html
      http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
     Davidson, Gerald, dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Press




 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Critical Nurse - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Free Coupon Codes